1. UPACARA ADAT AMMATEANG SULAWESI SELATAN
Pembahasan di sini
menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi
selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat
Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan
perkembangan zaman. Adat Upacara Adat Ammateang bugis bone di
makalah ini akan di ulas lebih mendalam pada daerah kabupaten Bone sulawesi
selatan.
Para keluarga berkumpul
Ammateang atau Upacara Adat
Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat
Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.Keluarga, kerabat
dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang
meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya
membawasidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang
seperti sarung atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang
membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka
cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum
semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya
hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu
yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.Hal
ini masih sesuai ajaran islam dalam tata cara mengurus jenazah dalam hal
memandikanya sampai mengshalatkanya.
Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu :
ü mabbolo(menyiramkan
air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil),
ü maggoso’ (menggosok
bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan
mayat
ü yang biasa dilakukan
oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya)
ü danmappajjenne’ (menyiramkan
air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat).
Orang -orang yang bertugas
tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si mayat
ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Ini
menjadi hal unik di mana orang yang memandi mayat akan mendapat imbalan dari
kelurga duka berupa barang orang yang meniggal
Mayat
yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan
kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya.Setelah itu imam dan
beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan ajaran Islam. Sementara
diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng(usungan mayat) atau
keranda. Dalam tradisi bugis di kampung saya keranda hanya sekali pakai atau
tidak di simpan lagi.ulereng/keranda ini untuk golongan tau
samara (orang kebanyakan) pada kalangan umum sedangkan ada
istilah Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3
susun. Walasuji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat ini
sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis.
2. Adat kematian Jawa
tengah (kesripahan)
- Upacara Brobosan
Salah satu upacara tradisional dalam
adat istiadat kematian jawa adalah upacara Brobosan. Upacara Brobosan ini
bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua
dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara Brobosan diselenggarakan
di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh
anggota keluarga yang paling tua.Tradisi Brobosan dilangsungkan secara
berurutan sebagai berikut: 1) peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah
dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai, 2) anak
laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan
berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga
kali dan searah jarum jam, 3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua
dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta
keluarganya mengikuti di belakang.
- Nelung Dinaadalah upacara doa atau tahlilan yang diselenggarakan pada ke-tiga hari dari hari kematian. Dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk memperingati kematian seseorang. Setelah tahlilan biasanya diadakan acara makan bersama yang telah disediakan oleh tuan rumah.Kadang-kadang, sebelum atau sesudah slemetan dilaksanakan, sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka.Mitung Dina, diselenggarakan pada hari ke-tujuh dari hari kematian.Matang Puluh, diselenggarakan pada hari ke-empat puluh dari hari kematian, danNyatus Dina, diselenggarakan pada hari ke-seratus dari hari kematian.Kematian MendhakUpacara tradisional ini dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian: pertama disebut Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365 hari); kedua disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian; ketiga disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang dilaksanakan pada hari ke seribu setelah kematian.Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya. Menurut kepercayaan juga, untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang; oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah.Upacara nyewu dinaInti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: – Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem, bunga telon ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati, bebek/itik, dan pelepasan burung merpati. – Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi gurih, ketan kolak, apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam lodong serta kemenyan.Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh keluarga, ulama, tetangga dan relasi.
3. upacara ngaben di BaliNgaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu.Dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Jenis – jenis Ngaben SederhanaMendhem SawaMendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).Ngaben Mitra YajnaNgaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama.Pranawa PranawaPranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau NgulapinPranawa BhuanakosaPranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.SwastaSwasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, sebagai daging, balung cendana 18 potong. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat ngaben ini sebagai berikut :Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan Demikian informasi tentang Upacara Adat Ngaben dari Pulau Dewata bali, mari kita kenali dan lestarikan budaya bangsa kita sebagai wujud cinta tanah air. Semoga bermanfaat.
demikian artikel macam-macam macam-macam upacara adat indonesia. jika anda ingin melihat artikel yang lain klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih untuk kesempatan waktunya sudah membaca blog saya :) ditunggu komentarnya